
Di kota-kota besar, koneksi internet cepat sering dianggap hal biasa. Tapi di banyak pelosok dunia—termasuk Indonesia—akses internet masih jadi kemewahan. Ketika siswa harus naik ke atas bukit untuk mencari sinyal, atau nelayan di perairan Indonesia timur kehilangan konektivitas saat melaut, kita sadar bahwa blank spot bukan sekadar masalah teknis—tapi masalah kesenjangan digital.
Solusinya mungkin tidak datang dari menara BTS yang semakin tinggi, tapi justru dari luar angkasa: satelit orbit rendah atau Low Earth Orbit (LEO).
Satelit LEO mengorbit Bumi pada ketinggian sekitar 500–2.000 km, jauh lebih rendah dibanding satelit geostasioner (GEO) yang berada di 35.786 km. Jarak yang lebih dekat ini membawa tiga keuntungan utama:
- Latensi rendah – waktu ping bisa di bawah 50 ms, setara internet fiber.
- Kualitas sinyal stabil, bahkan di area terpencil.
- Fleksibilitas cakupan global – satu konstelasi LEO bisa menjangkau daratan, laut, dan pegunungan.
Berbeda dengan satelit GEO yang biasanya hanya ada 2–3 unit per wilayah, jaringan LEO terdiri dari ribuan satelit kecil yang saling terhubung. Sistem ini disebut satellite mesh network, dan bekerja seperti “jaring internet” global yang terus bergerak mengelilingi bumi.
Salah satu implementasi paling terkenal datang dari Starlink, layanan internet satelit milik SpaceX. Ketika infrastruktur komunikasi di Ukraina dihancurkan selama invasi Rusia, pemerintah Ukraina langsung mengaktifkan ratusan terminal Starlink. Hasilnya, komunikasi militer dan sipil tetap berjalan meski jaringan lokal lumpuh total.
Di Indonesia, Starlink sudah diuji coba di daerah pedalaman Papua dan pulau terpencil di Maluku. Koneksi satelit LEO berhasil menghadirkan internet cepat tanpa perlu infrastruktur darat mahal yang biasanya sulit dijangkau karena medan.
Penggunaan satelit orbit rendah (LEO) membawa dampak besar dalam pemerataan akses digital di Indonesia. Salah satu manfaat utamanya adalah mendukung pendidikan jarak jauh yang lebih inklusif. Siswa di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) kini dapat mengakses materi pembelajaran yang sama dengan siswa di kota besar, mengurangi kesenjangan pendidikan. Selain itu, layanan kesehatan digital seperti telemedicine menjadi lebih mudah diakses oleh masyarakat yang tinggal di pulau-pulau terpencil atau daerah yang baru saja terdampak bencana. Dalam situasi darurat, teknologi LEO juga memungkinkan tanggap bencana yang cepat, karena terminal dapat diaktifkan hanya dalam hitungan jam, bahkan saat infrastruktur lokal lumpuh. Tidak hanya di darat, konektivitas berbasis LEO juga menjangkau sektor maritim dan aviasi, memungkinkan kapal dan pesawat tetap terhubung secara online sepanjang perjalanan, yang pada akhirnya meningkatkan aspek keamanan dan efisiensi operasional.
Namun, pemanfaatan satelit LEO juga menimbulkan sejumlah tantangan dan isu etis yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah masalah sampah antariksa. Peluncuran ribuan satelit menimbulkan risiko tabrakan yang meningkat, dan jika tidak dikelola dengan baik, orbit Bumi bisa menjadi kawasan yang berbahaya di masa depan. Selain itu, meskipun sinyal internet tersedia, masih ada kesenjangan dalam hal akses terhadap perangkat terminal dan biaya langganan, yang belum terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Di sisi lain, muncul kekhawatiran mengenai dominasi oleh perusahaan-perusahaan besar, karena konektivitas global yang dikuasai oleh segelintir aktor swasta bisa menimbulkan monopoli dan ketimpangan baru dalam akses informasi.
Dengan makin banyaknya konstelasi LEO diluncurkan—seperti OneWeb, Amazon Kuiper, dan China Guowang—masa depan internet tampaknya akan berpindah ke langit. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia, LEO bisa jadi kunci utama dalam mendorong pemerataan transformasi digital.
Namun, pemerintah, akademisi, dan sektor swasta harus duduk bersama untuk memastikan teknologi ini inklusif, aman, dan berkelanjutan. Karena internet bukan sekadar jaringan data, tetapi jembatan menuju kesempatan.
Referensi Ilmiah
- Handley, M. (2019). Delay is Not an Option: Low Latency Routing in Space. ACM SIGCOMM.
- Tozer, T. C., & Grace, D. (2001). High-altitude platforms for wireless communications. Electronics & Communication Engineering Journal.
- Pelton, J. N. (2019). Future trends in satellite communications. Space Policy Journal.
- Kapov, D., et al. (2022). Performance evaluation of LEO satellite systems. IEEE Communications Surveys & Tutorials.
- Tatematsu, A., et al. (2020). LEO Satellite Networks: Architectural Design and Challenges. IEICE Transactions on Communications.